Bahasa Indonesia Dijadikan Lingua Franca Di Asia Karena
Lingua Franca pada Kurun Niaga
Bahasa Melayu Kuno diperkirakan telah digunakan secara luas pada masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Prasasti Kedukan Bukit yang dikeluarkan Sriwijaya pada 683 Masehi adalah bukti arkeologis tertua penggunaan bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa (India). Hubungan erat Sriwijaya dengan negeri-negeri India membuat kosakata Melayu Kuno banyak pula mendapat pengaruh bahasa Sanskerta.
Seorang musafir Cina bernama I Tsing yang pernah berkunjung ke Sriwijaya di masa itu menyebut bahwa bahasa Melayu Kuno lazim dipakai untuk keperluan perdagangan. Selain itu, bahasa ini juga dipakai untuk keperluan sosial, politik, dan sebagai bahasa pengantar mempelajari bahasa Sanskerta dan agama Buddha.
“Bahasa Melayu Kuno inilah yang kemudian berkembang pada berbagai tempat di Indonesia terutama masa Hindu dan masa awal kedatangan Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkeliling di Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca,” tulis Lukman Ali dalam Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia (1998, hlm. 2).
Menurut Jajat Burhanudin, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, bahasa Melayu kian mapan sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara pada masa Kesultanan Samudra Pasai di abad ke-14. Ketika Sriwijaya mulai meredup, Samudra Pasai tumbuh sebagai kota dagang baru di bagian utara Selat Malaka.
Pada era Samudra Pasai, bahasa Melayu kian berkembang dengan menyerap pengaruh bahasa mitra dagangnya, yakni Arab dan Persia. Kosakata dan konsep-konsep baru yang bernapas Islam pun muncul. Salah satu bukti masuknya pengaruh Arab dan Persia ini bisa dilihat pada Prasasti Munye Tujoh (791 H/1389 M) yang mulai menerapkan penanggalan hijriah menggantikan tarikh Saka.
“Kata-kata Melayu asal Sanskerta memang masih tetap berperan bergandengan dengan bahasa Arab, meskipun kata-kata Melayu tersebut lebih dekat dengan bahasa Melayu abad-abad berikutnya. Hal ini berarti bahwa pengaruh bahasa Sanskerta secara perlahan berkurang dan digantikan bahasa Arab-Islam,” tulis Jajat dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017, hlm. 162).
INFOGRAFIK Bahasa Melayu
Yang tak kalah penting pada era Samudera Pasai ini adalah penggunaan huruf Jawi (Arab) yang menggantikan aksara India. Bahkan, para penutur di era itu menambah tanda khusus pada beberapa huruf Arab untuk menyesuaikan dengan bunyi bahasa Melayu.
“Penulisan ini dipakai dalam naskah-naskah Melayu lama, seperti dalam karya-karya sastra dan buku-buku pelajaran agama [Islam], dan juga sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum datangnya huruf Latin atau huruf Romawi yang mulai digunakan untuk penulisan bahasa Melayu walaupun masih sangat terbatas,” tulis Lukman (hlm. 3).
Ketika Laut Melayu kian sibuk oleh perdagangan internasional pada abad ke-15 hingga abad ke-17, bahasa Melayu telah kian mapan sebagai lingua franca. Penggunaannya sebagai basantara perdagangan bahkan meluas hingga Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Saat itu, bahasa Melayu tak lagi hanya menyerap unsur bahasa asing, tapi mulai memengaruhi pula bahasa lokal di Asia Tenggara.
“Dalam periode inilah ratusan kata-kata Melayu di dunia perdagangan, teknologi, dan bidang-bidang lainnya masuk ke dalam bahasa Tagalog; pusat-pusat niaga utama di Kamboja lantas dikenal dari kosakata Melayu sebagai kampong; dan orang Vietnam menerima kata-kata seperti cu-lao (dari kata Melayu pulau). Begitu juga kata-kata Melayu seperti amok, gudang, perahu, dan keris didapati orang Eropa di Pegu, bahkan di Pantai Malabar di India, seolah-olah semua itu merupakan kata-kata asli setempat,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I (2014, hlm. 10).
Pelaut-pelaut dari Eropa yang mulai hilir mudik di Nusantara pun merasa perlu menguasai bahasa Melayu untuk memperlancar komunikasi mereka dengan pedagang Nusantara. Sebagai misal patut disebut nama Antonio Pigafetta, seorang anggota ekspedisi keliling dunia Ferdinand Magellan. Ia membuat semacam kamus bahasa Melayu bertajuk Vocabuli de Questi populi mori pada 1522.
Usaha seperti ini lantas diikuti oleh pelaut Belanda yang datang kemudian. Pertengahan abad ke-17, sejumlah pelancong Belanda mulai membuat sendiri kamusnya, seperti Frederick de Houtman (1608) atau Casper Wiltens dan Sebastianus Dancakerst (1623).
“Setidak-tidaknya mereka yang berniaga dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan utama harus menggunakan bahasa Melayu sebaik menggunakan bahasa mereka sendiri,” tulis Reid (hlm. 10).
Luasnya penggunaan bahasa Melayu di era Kurun Niaga itu tak lepas dari sifatnya yang luwes. Pada abad ke-17, bahasa Melayu telah berkembang menjadi serbaneka dialek dan digunakan oleh banyak etnis di selingkung Laut Melayu.
Meski yang lazim disebut sebagai pusat budaya “Melayu sejati” adalah Malaka, namun penutur Melayu di sana mengakui validitas dialek Melayu dari tempat lain. Juga saat Kesultanan Aceh naik pamor, dialek Melayu-Aceh menjadi varian bahasa yang prestisius di Dunia Melayu.
“Variasi bahasa Melayu menunjukkan kepusparagaman kelompok etnik yang menjadikan bahasa ini sebagai basis identitas mereka. Namun demikian, pada abad ke-19 muncul perubahan sikap terkait penggunaan bahasa,” tulis Andaya (hlm. xxviii).
Perubahan yang disebut Andaya itu berkaitan dengan Traktat London yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda pada 1824. Berdasarkan traktat ini, Belanda diakui menguasai kepulauan Indonesia sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung Malaya dan Singapura. Pemisahan ini secara tak langsung ikut memengaruhi perkembangan bahasa Melayu di kawasan Selat Malaka.
Sejak saat itu, dua pusat kebudayaan Melayu yaitu Kerajaan Riau-Lingga dan Kerajaan Johor berkembang sendiri-sendiri. Bahasa dan kesusastraan Melayu Riau berkembang pesat dan kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu Tinggi. Pada abad ke-20 varian ini jadi tulang punggung bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca
Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca
Mohd Hassan, Hanis Izrin and Angterian, Siti Mahani and Yusop, Mohd Sharifudin (2017) Kegemilangan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Jurnal Kesidang, 2 (1). pp. 18-28. ISSN 2550-1674; ESSN: 2600-7851
Pada alaf ke-21 ini, masyarakat Malaysia lebih terdedah dan cenderung menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa perhubungan mereka. Hal ini demikian kerana penggunaan bahasa Inggeris dilihat sebagai salah satu bahasa yang sangat berpengaruh dan sering digunakan oleh semua masyarakat di seluruh dunia dalam proses komunikasi mereka. Namun begitu, masyarakat perlu didedahkan dengan hakikat bahawa bahasa Melayu juga pernah diiktiraf sebagai bahasa lingua franca suatu ketika dahulu. Pendedahan terhadap penggunaan bahasa Inggeris menyebabkan penggunaan bahasa Melayu dan sejarah yang pernah dilaluinya semakin jauh ditinggalkan oleh penuturnya terutama bangsa Melayu. Oleh itu, artikel konseptual ini memberikan tumpuan kepada fungsi bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Actions (login required)
Monograf Terbitan Berkala Sumber Elektronik Skripsi Tesis Bahan Grafis Rekaman Video Musik Bahan Campuran Bahan Kartografis Rekaman Suara Bentuk Mikro Film Manuskrip Bahan Ephemeral Serial Braille Semua Bahan
Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 612 792] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœÕXKoÛ8¾ðàÑjšÃ§âGºn^ÝÄé¥ØƒÑxÓuÒm²‡ý÷;C‰¶¤Ø4ì¢mY‡ü83œaƒ÷ìøxp1žM˜œ/îYïË]6ɆC6šŒÙhÞíN�p¡ÙüÏn˜À`R\æ„ã¹eóU·#Ø=ý¼ív>öXö›¿ëv¦8žM/ÆŒÕf‚øW‡ûػȊÞIÖ×½³Ì•…óLcÁö~‹ÁËmðNóÜ4á£2ª 97-G(M)Q_•2Þd`|£ªÙefzüº¢¯Kú™bÍ >3¿¼ˆºA‚ÜB‚’›C–e ™+üóÔø½³¹àBV“_h1X¸Çço|øøEŸbáûâWýÉWoªo§‚khâ²�}5Õì{d`x<Ψðˆ5φeãúV U Ù»w§Uá8˜Ý¾€t‡©Hà¸FrÈwìÅàTmˆìÈÆÈc!FZ¥†‹:j|ð/}R™f›®¿ªJ¡†}…oi†ýz§Q£¯õE[ï?&¬v¾ÚÈÆLùfؘ†Ò8ê[~‹Rr¬ñMÆ�¾Íx=‹1e“žúÏ †+ç§ÎrZÊ&v¾¨ºˆ¡K%�j-ßOZíÔÈ#dçû5µ¼ØÍïÄ¢:>ˇþíM¶Å�ÖÜif¥M<� öA:‰P‰zi’„H„4ÎpÐI�2RÜ%!ªTDÔ$©’ u"¤.rîŠ$H“ éW& Ò¦BjÇH‚t©�Rr�FOžIX¤ÑSDm¯l(f@·Ï×L1rßÞ••Å¬¿õ;µä}TÛ˜oõ¥{iãïäÅVkÿzT"âÏ;¬Z®=œö®ÐßB¾Rë’®"ÏŸá2ò¡7�ýÃNÈU®žñ&â=)9íØÍJ$øItꪵ�QL8ÌQ¾4¾7jöƒÖß.ì¨þïÛ·_] ÷6¿!ð%ö÷¾¢‘:%’ø|Tõ6Õ›ëŸØnʽɂnví Œaª×1„×F ?’¡|XǵŒ‹g²>’BR©¯AKŸ7KT³U>=/ñžÿ�áÏQ ‘vRa ÝüýA@%OkA1ÌC¢€ ¡2·\¹_Eå„m L1ÅOÄÎC°¤ï‘šºýôvö[Ï|~a³õV}R´ïÝÙ.˜,/\³ïQ’g�EÁEÑI�äj]Óy ky¬Öòü†
Bahasa Melayu ialah bahasa Melayu - Polesia daripada rumpun bahasa - Austronesia. Dibahagikan kepada tiga tahap, iaitu bahasa Melayu kuno, klasik dan moden. Tahap pertama dari abad 7 hingga abad 13, iatu pada zaman kerajaan Srivijaya sebagai bahasa lingua-franca dan pentadbiran.
Terdapat pengaruh bahasa Sankrit. menggunakan tulisan Pallawa. Tahap kedua dari abad 13 hingga abad 19. Terdapat pada batu bersurat Pagar Ruyung (Minangkabau), Minye tujuh (Acheh) dan Kuala Berang (Terengganu). Tulisan Jawi. Perkembangan tiga tahap,iaitu zaman Melaka, Acheh, dan Johor-Riau. Seterusnya, zaman moden bermula pada abad 19.
Sebelum kedatangan British, bahasa Melayu menjadi bahasa perantaraan, pentadbiran, kesusasteraan dan pengantar sekolah agama Islam. Pada zaman pemerintahan British, bahasa Melayu dipinggirkan. Selepas merdeka, bahasa Melayu dijadikan bahasa kebangsaan
1.2 Definisi Ligua Franca
Lingua franca (dari bahasa Itali, bererti bahasa Frank) atau bahasa perantara merupakan bahasa perantaraan yang digunakan secara sistematik untuk tujuan perhubungan antara orang-orang yang tidak sama bahasa ibundanya, khususnya bahasa ketiga yang berbeza dari bahasa ibunda dua belah pihak.
Lingua franca ditakrifkan berdasarkan fungsi, tanpa mengambil kira sejarah atau struktur bahasa itu:[walaupun ada bahasa campuran (pijin dan kreol) yang berperanan sebagai lingua franca, namun kebanyakan lingua franca bukan bahasa campuran. Istilah lingua franca juga memaksudkan bahasa yang dikhususkan dalam bidang tertentu, seperti bahasa Inggeris untuk kajian sains.
Lingua franca bersinonim dengan bahasa penghubung (vehicular language). Padahal bahasa vernakular merupakan bahasa asli dalam lingkungan sebuah komuniti penuturnya, bahasa vehicular pula menjangkaui batas komuniti asalnya, lalu dijadikan bahasa kedua untuk kegunaan perhubungan antara komuniti. Contoh, bahasa Inggeris adalah bahasa vernakular di England, tetapi di Filipina pula dijadikan bahasa penghubung (iaitu lingua franca).
Bahasa perantaraan antarabangsa seperti bahasa Esperanto direka dengan tujuan berperanan sebagai linguas franca, tetapi sayangnya penerimaannya tidak memberangsangkan (contohnya, bahasa Esperanto dianggarkan cuma ada 100,000 hingga 2 juta penutur fasih di seluruh dunia).
1.3 Sejarah Bahasa Melayu
Sejarah membuktikan bahawa bahasa Melayu mampu menjadi bahasa lingua franca. Pada zaman kegemilangan zaman Kesultanan Melayu Melaka, bahasa Melayu dituturkan oleh semua pedagang dari Arab, China, India dan Eropah. Ketika itu, bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa perpaduan dan bahasa komunikasi antarabangsa. Dianggarkan lebih 300 juta orang di seluruh dunia boleh bertutur dalam bahasa Melayu
Dari aspek sejarah, bahasa Melayu berasal daripada rumpun bahasa Austronesia atau dikenali juga sebagai bahasa Melayu-Polinesia. Bahasa Melayu berkembang menjadi pelbagai dialek yang unik dan tersendiri. Pada hari ini, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa rasmi dan bahasa kebangsaan di Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunei. Di Malaysia, bahasa Melayu dimartabatkan dalam Perlembagaan Persekutuan (Perkara 152) yang menyatakan bahawa bahasa Melayu ialah bahasa rasmi negara.
Atas faktor tertentu, bahasa Melayu dikenali juga sebagai bahasa Malaysia. Bahasa Melayu merupakan antara sepuluh bahasa di dunia yang mempunyai penutur yang paling ramai.
Bilangan pengguna bahasa Melayu semakin meningkat dari setahun ke setahun namun masih tidak dianggap sebagai kuasa bahasa utama kerana terpaksa bersaing atau dalam erti kata lain, dinafikan hak dan upayanya dek kehadiran bahasa lain seperti bahasa Inggeris. Bahasa Melayu sebenarnya mempunyai nilai komersial, unik dan kaya kosa kata. Terdapat pelbagai faktor dalaman dan luaran yang menjadi penyebab bahasa Melayu dipandang sinis dalam kancah keilmiahan dan ketamadunan jati diri bangsa.
Bahasa Melayu merupakan bahasa perpaduan, dituturkan oleh pelbagai lapisan masyarakat sebagai bahasa perhubungan utama, bahasa diplomatik, bahasa perundangan, bahasa pentadbiran, bahasa perdagangan dan sebagainya. Namun begitu, sesetengah pihak menganggap bahasa Melayu tidak mantap dan belum boleh dibanggakan kerana status pencapaian yang merudum jika dibandingkan dengan pencapaian yang dicatatkan pada zaman kegemilangan Melayu terdahulu. Yang menyedihkan, terdapat segelintir rakyat dan pemimpin seolah-olah meminggirkan peranan bahasa kita.
Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca
Bahasa Perantara di Laut Melayu
Bahasa Melayu yang jadi cikal bakal bahasa Indonesia berakar dari rumpun bahasa Austronesia. Menurut sejarawan Leonard Y. Andaya, teori asal-usul bahasa Melayu dan penuturnya yang paling masyhur dikemukakan oleh arkeolog Peter Bellwood dan linguis Robert Blust. Bentuk paling purba bahasa ini yang disebut Proto Melayu-Polinesia diperkirakan mulai berkembang di Filipina sekitar 2500 tahun sebelum masehi.
Sekitar 2000 SM, bahasa Proto Melayu-Polinesia berkembang jadi cabang-cabang bahasa baru seiring dengan migrasi para penuturnya ke Nusantara. Lalu sekitar 1500-500 SM, di Kalimantan bagian barat berkembang lagi rumpun bahasa Melayu-Cham yang diperkirakan sebagai nenek moyang langsung bahasa Melayu. Beberapa ratus tahun sebelum era Masehi, orang-orang berbahasa Melayu-Cham ini lantas bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaya melalui kepulauan Riau .
“Dari Semenanjung Malaya, satu kelompok menyeberang ke Sumatra Tenggara dan menjadi nenek moyang para penutur bahasa Melayu, sedangkan kelompok lain bermigrasi ke Vietnam lantas menjadi nenek moyang para penutur bahasa Cham,” tulis Andaya dalam Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas (2019, hlm. 3-4).
Bahasa Melayu yang paling kuno berkembang seiring dengan tumbuhnya kebudayaan maritim para penuturnya. Mereka membangun komunitas di pesisir dan tepian sungai. Selama berabad-abad, komunitas penutur ini saling berjejaring dan menjadikan bahasa Melayu Kuno sebagai basantara (bahasa perantara) untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, bahasa ini juga berkait erat dengan geografi persebaran penuturnya.
Wilayah interaksi para penutur bahasa Melayu Kuno ini disebut Andaya sebagai Laut Melayu. Istilah ini mengacu pada sebuah kronik Arab bertarikh sekitar 1000 M. Kronik itu menyebut tentang “Laut Melayu, yang mendekati Cina”. Lalu, sebuah kronik lain dari abad ke-17 menyebut lagi bahwa Laut Melayu adalah laut di antara Semenanjung Melayu dan Sumatra, sehingga bisa diinterpretasikan sebagai Selat Malaka.
Keterangan-keterangan ini jelas menunjukkan hubungan erat antara komunitas penutur bahasa Melayu dengan dunia kelautan. Oleh karena itu, Andaya memberi pengertian bahwa Laut Melayu mengacu pada serangkaian komunitas yang terhubung melalui jaringan ekonomi dan budaya yang intens.
“Sejak akhir abad ke-7, orang Melayu sudah berperan penting dalam jaringan semacam itu. Fakta menunjukkan bahwa dahulu ada sebuah ‘laut’ yang amat panjang, menghubungkan India Selatan dan Sri Lanka dengan Teluk Bengal, Sumatra, Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Teluk Siam, Laut Cina Selatan, hilir Sungai Mekong, dan Vietnam Tengah. Titik utama jaringan komunitas yang menghidupi Laut Melayu ini adalah Selat Malaka,” tulis Andaya (hlm. 7).
tirto.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, berkeinginan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar atau lingua franca di kawasan Asia Tenggara. Nadiem mengatakan bahwa hal tersebut telah masuk dalam rencana program Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud.
"Ke depannya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bisa menjadikan bahasa Indonesia salah satu bahasa yang menjadi lingua franca Asia Tenggara. Enggak tahu apa ini bisa tercapai, tapi kita harus punya mimpi yang besar," kata Nadiem saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Kamis (20/2/2020).
Meski demikian, Nadiem mengaku belum bisa membeberkan detail rencana tersebut karena saat ini Badan Bahasa masih mendalami strategi dan caranya. Menurutnya, pembahasan masih berjalan dan ia menjanjikan untuk menjelaskan hal itu dalam waktu dekat. Yang terang, perlu ada kebijakan besar agar bahasa Indonesia bisa diterima di Asia Tenggara. Apalagi, katanya, bahasa Indonesia harus mampu beradaptasi dengan berbagai kultur di Asia Tenggara.
Jika terwujud, hal ini bisa mengangkat martabat Indonesia di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara.
"Dengan negara sebesar ini, menurut kami merupakan suatu hal yang sangat menarik dan sangat penting menjadikan Indonesia negara yang lebih penting di panggung dunia, lebih penting di Asia Tenggara," ucapnya.
Nadiem jelas masih perlu memformulasikan lagi langkah-langkah untuk mencapai targetnya itu. Meski masih sangat jauh, agaknya visi Nadiem tak mustahil diwujudkan. Pasalnya, bahasa Melayu—embrio bahasa Indonesia—masih dituturkan dan jadi bahasa resmi di Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Jika menilik sejarah, bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca di kawasan Asia Tenggara. Itu terjadi pada era yang oleh sejarawan Anthony Reid disebut sebagai Kurun Niaga (abad ke-15 hingga abad ke-17).